+ -

Tangisan ditepian Jingga



“Foto – foto itu, banyak menyimpan kenangan masa muda Nenek!” 

Sore itu, aku bersama Ayah berkunjung ke rumah nenek. Rutinitas yang sudah berlangsung sejak aku lahir. Aku mengunjungi Ibu dari Ayahku. Beliau bersama Tante Dina: adik Ayah yang paling bungsu.

“Nek, wajah Kakek mirip aku, kan?” membuka dan memandangi lembaran album Nenek, membuatku kembali penasaran dengan sosok Kakek, yang telah meninggal ketika Ayah masih muda.

“Iya, Yan. Sudah berapa kali Nenek menjawabnya!” 

Dengan senyum simpul, Nenek menjawab pertanyaanku sembari menyisipkan kalimat protes! Aku memang selalu penasaran dengan Kakek. Sebab segala tentang beliau tidak pernah di dikumentasi!

“Nek, sudah waktunya aku mendengarkan kisah Kakek!” 

Aku kemudian mengalihkak topik. Cerita tentang kakek seperti harta-karun bagi Nenek dan Ayah! Hingga begitu sulit mengisahkannya. Namun, Nenek telah berjani menceritakan kisah Kakek setelah aku dewasa. Hari ini umurku genap 17 tahun, waktu yang pas untuk menagih janji Nenek! Sepintas aku memperhatikan raut wajah Nenek, terlihat berubah ketika pertanyaan terakhir aku lontarkan.

Kami berdua duduk di beranda, ditemani warna-warni bunga yang menghiasi halaman rumah. Sementara Ayah sedang membersihkan semak belukar di halaman belakang rumah. Tante Dina sedang ke pasar membeli segala sesuatau untuk makan siang kami.

Pandangan Nenek mengarah tajam ke depan, saekan menerawang dan mengumpulkan serpihan kisah yang berserakan. Aku mulai cemas bercampur takut, sebab tidak tega milahat Nenek hanya terdiam dengan raut sedih. Ketika hendak bersuara, tiba – tiba suara Nenek mendahuluiku.

“Kakekmu adalah seorang pelaut. Beliau jarang sekali pulang. Ketika pulang, beliau menghabiskan waktunya bersama minuman. Nenek selalu menasihatinya untuk berhenti minum! Namun, peringatan Nenek tak pernah di dengarkannya. Dan akhirnya peristiwa naas itu menimpanya. Kakekmu, meninggal akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Kulitnya seperti terbakar, sebab terlalu banyak alkohol yang menyatu dengan darah. Oleh karena itu, Nenek selalu menasihati ayahmu, agar jangan menyentuh alkohol. Alhamdulillah, Ayahmu mendengar nasihat Nenek. Sehingga mencium alkohol saja, dia tidak mau.  Biarlah Kakek menjadi contoh bagi kalian, jangan sampai anak-cucunya seperti dia. Kamu harus ingat kisah ini, agar kamu tidak seperti kakek.”

Aku melihat buliran bening mulai jatuh membasahi wajah keriput Nenek. Cerita singkat yang barusan belia ungkapkan, menyimpan rahasia duka dalam batinnya. Hatiku seakan terkoneksi dengan hati Nenek, sehingga membuatku merasakan perasaan Nenek. 

Aku pun mulai menangis, dengan suara yang agak pelan. 

“Kek, Kakek.. Jalan – jalan yuk.., daripada ngalamun saja, mendingan kita ke taman! Hmmm.., Kakek Nangis ya?”   aku terkejut, lamunanku pada peristiwa 50 tahun lalu, akhirnya hilang dengan kedatangan cucuku. Mengajakku berjalan di taman dekat rumah. Aku tidak tega memarahi cucu kesayanganku ini, walau dia telah mengganggu lamunan makna yang begitu nyata menghampiriku.

“Nggak, Yat. Kakek nggak nangis kok. Mata Kakek kena debu, makannya ber-air! Memang Yayat nggak capek mendorong kursi roda Kakek?” ‘ku elus kepala cucuku, sembari menanyakan kesiapannya.

“Samasekali nggak capek, Kek. Kata Ayah, yang penting Kakek gembira dan nggak minum alkohol lagi, agar Kakek bisa berjalan seperti semula!”

Dengan bantuan cucuku, kami pun berjalan ke taman yang berada tidak jauh dari rumah. 


separator

 by
sofyan salim

   Posted by : +Sofyan Salim 


Thanks for share!
5 Sofyan Salim: Tangisan ditepian Jingga “Foto – foto itu, banyak menyimpan kenangan masa muda Nenek!”  Sore itu, aku bersama Ayah berkunjung ke rumah nenek. Rutinitas yan...

No comments:

Post a Comment

< >