Agama.
Orang – orang sering terjebak pada topik tersebut. Terkadang, orang sering mencampur-adukkan
antara agama dan ilmu sosial atau filsafat. Padahal, terdapat kaidah yang berbeda
jika berbicara agama. Masing – masing topik tersebut memiliki pijakan (ontologi)
dan cara memahami (epistemologi) yang juga membawa manfaat (aksiologi) yang berbeda
antara satu dengan yang lain.
Ilmu Sosial, Ilmu Alam,
Biologi, dlsb memiliki objek kajiannya masing – masing. Namun sayangnya, Ilmu Sosiologi,
Antropologi dan Filsafat sering digunakan untuk menyerang ajaran agama
tertentu. Membandingkan orang yang mendukung pornografi dengan orang yang tidak
mendukung pornografi dalam konteks agama adalah keliru, sekalipun secara
sosiologis, antropologis dan filosofis hal tersebut dapat dimaklumi. Contohnya,
Indonesia yang mayoritas beragama dan khususnya beragama Islam dipaksa harus
toleran dengan minoritas yang mendukung pronografi dengan mengambil sempel
negara demokrastis seperti Amerika adalah sebuah pandangan yang keliru dari
sudut pandang agama. Sebab setiap agama manapun—kalau bisa dibilang
demikian—pastilah melarang pengikutnya untuk berbuat atau mendekati sesuatu
yang berbau pornografi.
Contoh lain adalah
Jilbab bagi wanita muslim. Banyak yang berdalih bahwa itu hanyalah sebuah
tradisi yang tidak perlu diikuti. Pandangan tersebut tentunya memiliki pijakan
antropologis, namun pijakan agamanya tidak ada, sebab agama (dalam hal ini
Islam) menganggap jilbab bukan sebagai tradisi tetapi adalah kewajiban bagi
pemeluknya (yang mengimaninya). Secara antropologis, jilbab memanglah tradisi
sejak sebelum “agama – agama” ada, namun dalam konteks agama, jilbab adalah
ketundukan atau kepatuhan dan bernilai ibadah yang tidak ada kaitannya dengan
tradisi. Bahwa terjadi perbedaan antara pemakai jilbab di negara yang satu
dengan yang lain, maka itu merupakan perbedaan penafsiran masing – masing
individu tentang bagaimana berjilbab dan bukan wajib tidaknya berjilbab. Dalam
agama – agama, khusunya Islam, tradisi tidak selamanya dimaklumkan jika
bertentangan dengan ajarannya. Tradisi yang mengandung kebaikan jiwaraga dan
kehidupan sekitar akan didukung oleh Islam, namun jika tidak, maka tidak akan
dibenarkan.
Orang
perlu membedakan antara tradisi dan ajaran agama. Jangan sembarangan berasumsi
berdasar tafsir buta tanpa disiplin ilmu terkait, atau mencampur adukkan antara
metodologi kajian agama dengan ilmu sosial atau filsafat, dst. Karena pastinya
tidak akan bertemu dalam tataran substansinya. Tak perlu pula mencampur adukkan
antara metodologi agama yang satu dengan agama yang lain, karena secara
ontologis, epistemologi, maupun aksiologinya pastilah berbeda. Lebih baik diam
jika tidak tahu menahu tentang hal demikian, daripada membuat orang menjadi
bingung dengan asumsi – asumsi ataupun pandangan tidak berdasar kita.